Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis persyaratan calon kepala daerah di
Provinsi Aceh yang berstatus mantan narapidana. Penelitian ini merupakan penelitian
hukum normatif dengan menggunakan pendekatan masalah yang akan digunakan
yaitu pendekatan perundang-undangan dan studi kasus dengan melakukan penelitian
terhadap asas-asas hukum kemudian melihat bagaimana dasar pertimbangan
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51/PUUXIV/
2016 yang membatalkan Undang-Undang Aceh Pasal 7 huruf g tahun 2006
yang mengatur persyaratan calon kepala daerah mantan narapidana. Hasil penelitian
menunjukkan pengaturan persyaratan bagi calon kepala daerah yang berstatus mantan
narapidana sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang, pada
umumnya bahwa mantan narapidana bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah
jika mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik
bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Sedangkan pengaturan secara khusus
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang
Pemerintahan Aceh, seorang mantan narapidana tidak bisa mencalonkan sebagai
kepala daerah di Provinsi Aceh jika pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan
kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara minimal 5 (lima) tahun
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
kecuali tindak pidana makar atau politik yang telah mendapat amnesti/rehabilitasi.
Dalam perkara nomor 51/PUU-XIV/2016, bahwa pertimbangan Mahkamah
Konstitusi mengenai pelarangan warga negara yang telah menjalani masa pidana
untuk kejahatan yang ancaman pidananya adalah lebih dari dan sama dengan lima
tahun sudah sangat tepat. Pertama, perkara nomor 42/PUU-XIII/2015 menjadi lex
generalis untuk perkara pelaksanaan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota,
Mahkamah Konstitusi telah memberikan kepastian hukum untuk pengaturan
mengenai persyaratan bagi mantan narapidana termaksud di setiap provinsi di
Indonesia. Kedua, Mahkamah Konstitusi memperhatikan jenis-jenis pemidanaan
yang diatur di KUHP, Mahkamah Konstitusi dengan tepat menilai bahwa substansi
Pasal 67 ayat (2) huruf g merupakan bentuk pengurangan atas hak kehormatan, yang
mana dalam Pasal 10 KUHP pencabutan hak politik diputuskan oleh badan peradilan
bukan dengan produk peraturan perundang-undangan. Dalam Islam seorang mantan
narapidana yang sudah bertaubat dianggap menjadi orang baik, sehingga seseorang
berhak untuk mengajukan atau mencalonkan diri sebagai pemimpin atau kepala
daerah.
|