Pilih Bahasa  
Book's Detail
TINDAK LANJUT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 22/PUU-XV/2017 TERKAIT KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM PEMBENTUKAN NORMA BARU

Di tahun 2017 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian dari
gugatan uji materi terkait pembedaan usia perkawinan dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. MK menyatakan perbedaan batas usia
perkawinan laki-laki dan perempuan dalam Undang-undang tersebut
menimbulkan diskriminasi. Namun MK menyatakan tak memutuskan batas
minimal usia perkawinan. MK berpandangan penentuan batas usia minimal
perkawinan merupakan kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai
pembentuk undang-undang. Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam
penulisan ini, yaitu: Bagaimana tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi
nomor 22/puu-xv/2017 terkait kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat dalam
pembentukan norma baru; Bagaimana pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam
putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 22/PUU-XV/2017; dan Bagaimana
pandangan Islam mengenai tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi nomor
22/puu-xv/2017 terkait kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat dalam
pembentukan norma baru. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif
empiris. Kesimpulan yang dihasilkan dalam penelitian ini, yaitu: Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017 telah ditindaklanjuti oleh DPR.
DPR sepakat untuk merevisi secara terbatas Pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan terkait
batas usia minimal yang dibolehkan melakukan perkawinan antara laki-laki dan
perempuan adalah sama-sama usia 19 tahun. Majelis Hakim berpendapat bahwa
permohonan para pemohon merupakan bentuk open legal policy yang tidak dapat
diuji oleh Mahkamah Konstitusi. penentuan batas usia kawin bagi anak dalam
Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974 merupakan salah satu bentuk kesepakatan nasional
yang telah disepakati setelah mempertimbangkan secara bijaksana dan
memperhatikan nilai-nilai yang berlaku pada tahun 1974. Namun MK menilai
perbedaan batas usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan bisa
menimbulkan diskriminasi sehingga bertentangan dengan UUD 1945 dan UU
Perlindungan Anak. MK tidak bisa menentukan batas usia perkawinan yang tepat
bagi perempuan. Menurut MK, hal tersebut merupakan kewenangan DPR sebagai
pembentuk undang-undang. Menurut pandangan Islam terhadap DPR dengan
sebutannya sebagai Ahlul Halli wal ’Aqdi atau wakil rakyat yang memiliki
kewenangan untuk membentuk, mengubah dan menghapus undang-undang
termasuk di dalamnya menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi apabila
diperlukan. Hal ini sebagai wujud ketaatan hukum dan penyelarasan dalam
kedudukannya sebagai legislatif atas kebijakan yudikatif.

Pernyataan Tanggungjawab
Pengarang Panangian Hrp, Rizki - Personal Name
Pembimbing 1 Liany, Lusy
Pembimbing 2 Mahmud, Amir
Pembimbing 3
Edisi
No. Panggil S-565-FH
ISBN/ISSN
Subyek PERKAWINAN
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
Mahkamah Konstitusi
BADAN LEGISLASI
Klasifikasi S-565-FH
Judul Seri -
GMD Text
Bahasa Indonesia
Penerbit Universitas YARSI
Tahun Terbit 2019
Tempat Terbit Jakarta
Deskripsi Fisik xi, 82 hlm., 28 cm
Abstrak / Info Detil Spesifik
Lampiran Berkas
LOADING LIST...
Ketersediaan
LOADING LIST...