|
Skripsi ini membahas tentang kasus seorang isteri yang mengajukan cerai gugat disertai
tuntutan nafkah lampau, nafkah iddah, pemberian mut’ah dan nafkah anak. Fokus
penelitian Penulis adalah pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo
yang memutuskan suami untuk membayar mut’ah kepada isteri. Adapun rumusan
masalah yang Penulis buat adalah: Bagaimanakah regulasi yang mengatur mengenai
pemberian mut’ah kepada mantan isteri pasca cerai gugat; Bagaimanakah pertimbangan
hukum Majelis Hakim dalam memutus perkara Nomor 1898/Pdt.G/2012/PA.Sda.; dan
Bagaimanakah pandangan Islam terhadap pemberian mut’ah kepada mantan isteri pasca
cerai gugat. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif. Hasil
penelitian ini menyatakan bahwa regulasi mengenai pemberian mut’ah bagi isteri yang
mengajukan cerai gugat tidak diatur dalam Undang-Undang Perkawinan maupun
Kompilasi Hukum Islam (KHI). Hakim dalam pertimbangannya berdasarkan Pasal 149
huruf a dan b KHI. Sedangkan menurut Penulis, pasal tersebut hanya berlaku untuk
akibat dari cerai talak saja. Dalam Islam juga tidak diatur pemberian mut’ah bagi isteri
yang mengajukan cerai gugat sehingga para Ulama fikih saling berbeda pendapat. Oleh
karena terjadi kekosongan hukum mengenai hal tersebut, maka Penulis sampai pada
kesimpulan bahwa pengaturan dalam Kompilasi Hukum Islam tentang pemberian
mut’ah hanya berlaku apabila terjadi talak oleh pihak suami kepada isteri. Sedangkan
tidak berlaku jika terjadi sebaliknya berdasarkan penafsiran argumentum a contrario.
|